Tanah Kas Desa
Pada
umunya kita mempunyai bayangan tentang daerah sebagai wilayah yang
terdiri atas pusat-pusat permukiman dengan beraneka ragam sebutan, seperti
desa, kampong, lembang, marga, nagari, gampong yang didiami oleh petani-petani
dengan segala karakteristiknya. Dalam hal ini hubungan kekeluargaan (keakraban,
tolong-menolong atau gotong royong, dan keterikatan) sebagai sifat mempengaruhi
hubungan-hubungan lain secara kuantitatif relatif lebih tinggi apabila
dibandingkan dengan perkotaan.
Perlu
disadari oleh kita semua, bahwa pengertian desa adalah istilah atau pengertian
yang beranekaragam. Pembagian secara administratif wilayah Negara Indonesia
terdiri atas wilayah yang meliputi provinsi, kabupaten/kota, kecamatan,
dan desa. Disamping desa dalam pengertian administratif, dapat dijumpai
juga jenis desa dengan menerapkan kriteria yang lain, misal berdasarkan
topografi: desa pegunungan, desa dataran rendah, desa dataran tinggi, desa
pantai; Kemungkinan juga dapat didasarkan pada kriteria jenis usahannya,
yaitu kampong peladang berpindah-pindah, desa perkebunan rakyat, desa nelayan,
dll.
Secara
historis, Menurut S.M.P. Tjondronegoro Pemerintah Indonesia lebih banyak
mengandalkan pada desa dalam pengertian administratif. Hal ini dapat kita
telusuri sejak Pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1906 yang menfokuskan
pada Desa Jawa (Inlandsche Gemeente
Ordonnantie). Studi
Desa pada Jaman Pemerintahan Hindia Belanda, dapat dirujuk beberapa
tulisan/hasil karya R. Soepomo, J.H. Boeke, DH. Burger., E de Vries dan J. C.
Breman. Sebagai contoh karya tulis tentang Desa di Makasar (A.A. Cense), Batak
(J.H. Neumann), Ambon (J. Keuning), Bali (R. Goris), dan Minangkabau (BJO
Shrieke). Kemudian setelah Indonesia merdeka, dapat dirujuk karya ilmiah
Soetardjo Kartohadikoesoemo (1953) yang orientasinya ke Pedesaan Jawa
dengan topik: 1) bentuk desa, 2) masyarakat penduduk hukum asli; 3) pemerintah
desa; 4) rumah tangga desa; dan 5) desa sebagai daerah otonom. Pada jaman
setelah Orde Baru, terdapat studi tentang desa oleh Koentjaraningrat
(1964), Sajogyo (1973), Bayu Suryaningrat (1981), Dorojatun Kuntjorojskti
(1982), Loekman Soetrisno (1988), SMP Tjondronegoro (1996),
Mubyarto (1996), Philip H. Combs dan Manzor Ahmed (1984).
Secara
kronologis, pada jaman Pemerintahan Kolonial Belanda (1906) otonomi pada
pemerintahan desa diatur dengan (IGO untuk
desa di Jawa dan IGOB untuk
desa di Luar Jawa); selanjutnya pada tahun 1958-1965 dengan UU Nomor 19
Tahun 1965 mencabut Ordonantie Nomor 212 Tahun 1907 ada
usaha untuk mendirikan pemerintahan tingkat tiga dengan nama “Desapradja”.
Namun, upaya tersebut tidak sempat terlaksana karena adanya beberapa Instruksi
Menteri Dalam Negeri yang melarang pelaksanaannya.
Setelah
diundangkan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Desa, dikenal adanya desa keturunan (geneologis) dan
desa teritorial. Berdasarkan UU itu pula, secara administratif di tingkat
bawah dikenal dua bentuk , yaitu “Kelurahan dan Desa”
yang merupakan titik puncak dari kecenderungan “formalisasi desa”.
Dengan diberlakukannya UU Nomor 5 Tahun 1979 tersebut, cirri-ciri birokrasi
mulai terasa, lambat laun atau secara bertahap mengurangi otonomi desa,
sehingga dalam jangka panjang pengertian desa geneologis (keturunan) akan
hilang dan tingal tersisakan desa territorial administratif saja.
Wujud Otonomi dan/atau pemberdayaan (partisipasi) warga Desa
UU
Nomor 5 Tahun 1979 yang mulai berlaku terhitung 1 Desember 1979 ini,
mengisyaratkan suatu kebijakan Pemerintah, agar diadakan penyatuan dan/atau
penyeragaman istilah persekutuan masyarakat hukum adat yang berupa “Kampong
(Papua), Marga (Palembang), Nagari (Sumatera Barat), Pertuanan/wewengkon
(Jawa), Kampung (Sanggau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan),
Lembang (Toraja), Gampong (Nangroe Aceh Darussalam/NAD) serta
Negeri (Maluku) sebagainya menjadi “Desa”.
Secara
tidak lansung dengan diberlakukannya substansi UU tersebut, mempunyai 3
(tiga) akibat penting terhadap otonomi desa dan/atau masyarakat hukum adat atau
daerah dengan nama lain yang setingkat, yaitu: 1) melemahkan posisi
pemerintahan informal yang dalam hal ini dipegang oleh para Kepala Marga,
Lembang dll., sehingga tinggal tersisa untuk melaksanakan kehiatan-kegiatan
yang bersifat ritual upacara adat, bahkan dijadikan sebagai ajang komoditi
pariwisata belaka; 2) wilayah Hak Ulayat, marga, Kampong dll., terbagi ke dalam
beberapa desa dengan satu pucuk pimpinan (otoritas tunggal) pada Kepala Desa;
3) Kekuasaan pemimpin masyarakat hukum adat, Marga atau lebang, dll., apalagi
dengan dihapuskannya Peradilan Adat/Inheemse Rectspraak (UU
Darurat Nomor 1 Tahun 1951, maka otoritas untuk menyelesaikan perkara yang
berkaitan dengan tanah menjadi kewenangan Peradilan Umum (Pengadilan Negeri).
Kebijakan
Pemerintah sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 5 Tahun 1979 tersebut, dengan
berjalannya Era Reformasi yang tertuang dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 yang
kemudian di gantikan dengan UU Nomolr 32 Tahun 2004 jo. Perpu Nomor 3 Tahun
2005 dilakukan peninjauan kembali mengenai eksistensi desa. Wujud otonomi desa
yang partisipatif tersebut tercermin dalam: Pertama,
Pasal 200, ayat (1) yaitu Susunan Pemerintahan Desa yang terdiri dari
Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). [Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) adalah sebutan nama Badan
Perwakilan Desa sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pemnentukan Peraturan :Perundang-undangan]; Kedua,
Pasal 200 ayat (2) dan ayat (3) yaitu bahwa pembentukan, penghapusan, dan/atau
penggabungan desa dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa
masyarakat, termasuk dalam hal ini perubahan status desa menjadi
Kalurahan didasarkan pada usul dan prakarsa pemerintah desa dan badan permusayawaratan
desa; Ketiga, Pasal 203 ayat (1) yang
menyatakan bahwa Kepala Desa dipilih lansung oleh dan dari penduduk desa
warga negara RI yang memenuhi syarat; Keempat, Pasal
203 ayat (3) pengakuan eksistensi/keberadaan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan diakui keberadaannya berlaku
ketentuan “hukum adat setempat” yang ditetapkan dalam Perda dengan
berpedoman pada Peraturan Pemerintah; Kelima,
Pasal 206 huruf a yang berkaitan dengan kewenangan desa salah satunya
didasarkan pada urusan pemerintahan yang sudah ada sesuai asal-usul desa; Keenam,
Pasal 209 ayat (1) tentang keanggotaan BPD disyaratkan wakil dari
penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan musyawarah dan mufakat; Ketujuh,
Pasal 215 ayat (1) berkaitan dengan pembangunan kawasan perdesaan baik yang
dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota atau pihak ketiga mengikutsertakan
pemerintah desa dan BPD; Kedelapan,
Pasal 216 yang mengisyaratkan bahwa pengaturan tentang desa yang akan
dituangkan dalam Perda
wajib mengakui dan
menghormati hak, asasl-usul, dan adat istiadat desa Kemudian
dengan dikeluarkannya PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Penjelasan
Umum PP Nomor 72 Tahun 2005 yaang menyatakan bahwa prinsip dasar yang dianut,
1) keanekaragaman yang
memiliki makna bahwa desa dapat disesuaikan dengan asal-usul dan kondisi
sosial budaya masyarakat setempat; 2) Partispasi; 3) Otonomi asli;
4) Ddemokrasi; 5) Pemberdayaan masyarakat.
Satu
hubungan kekuasaan yang direorganisasi melalui kedua UU tersebut adalah
penyelenggaraan pemerintahan secara desentralisasi yang berarti penyerahan
kewenangan dari pemerintahan pusat kepada pemerintah daerah dengan
berbagai harapan agar kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah demi
kesejahteraan rakyat menjadi lebih sesuai dengan “hajat hidup rakyat”.
Otonomi seharusnya menempatkan masyarakat sebagai jantung
dari segala tujuan pembangunan. Apa yang dikatakan oleh Mohammad Hatta
sebagaimana dimuat dalam Majalah Keng Po, 27 April 1927,
perlu dimaknai secara dalam. Beliau menyatakan bahwa Otonomi masyarakat
tak hanya melaksanakan demokrasi, tetapi juga mendorong berkembangnya
prakarsa dalam bentuk pelaksanaan kebijakan untuk kepentingan masyarakat
lokal. Termasuk dalam hal ini adalah regulasi (tataran normatif) dan/atau
kebijakan (tataran implementasi) yang bagaimana serta hal-hal apa yang
akan dilakukan Pemerintah Kab/Kota dalam mengelola kekayaan daerah,
dan/atau Pemerintah Desa dalam mengelola kekayaan Desa, khususnya tanah
kas desa. Lalu bagaimana realisasinya ?.
Dasar Hukum Pengelolaan Tanah (Kas) Desa
Secara
garis besar dasar hukum pengelolaan tanah (kas) desa, berdasarkan hirarkhi
peraturan perundang-undangan, didasarkan pada: Pertama, UU
Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004, khususnya pada Pasal 212-216
ayat (1) tentang Keuangan Desa yang menyatakan bahwa Keuangan desa adalah semua
hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu
baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan
milik desa berhubungan dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban. Kedua, Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Peraturan Pemerintah ini
merupakan tindak lanjut dari UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. PP Nomor 72 Tahun 2005. PP ini menggantikan keberadaan PP Nomor
76 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa sebagai tindak
lanjut dari pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 1999 Pada Pasal 68 PP Nomor 72 Tahun
2005 tersebut menyatakan bahwa Sumber Pendapatan asli desa, terdiri a. dari
hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil
swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli
desa yang sah. Dstnya.. Selanjutnya dalam Pasal 69 lebih ditegaskan lagi bahwa
kekayaan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf a menyebutkan:
kekayaan desa terdiri atas, tanah
kas desa,
pasar desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan desa, pelelangan ikan yang
dikelola oleh desa, dan lain-lain kekayaan milik desa. Lebih lanjut dalam Pasal
106 ayat (2) PP tersebut memerintahkan kepada Menteri (Dalam
Negeri) mengatur mengenai Pedoman Penetapan dan Penegasan Batas Desa,
Administrasi Desa, Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Desa,
Asosiasi/Paguyuban/Forum Komunikasi Badan Permusyawaratan Desa, dan Pemerintah
Desa, serta tanah kas desa. Ketiga, Peratutan
Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan
Kekayaan Desa yang mulai berlaku pada tanggal 31 Januari 2007. Keempat, dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 16 PMDN Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman
Pengelolaan Tanah Kas Desa, maka seharusnya tata cara pengelolaan
kekayaan desa diatur/dituangkan dalam produk hukum berbentuk Peraturan
Bupati/Walikota. Khusus di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, regulasi
tentang pengelolaan tanah kas desa dituangkan dalam produk hukum berbentuk
Peraturan Gubernur DIY Nomor 11 Tahun 2008 yang mulai berlaku pada
tanggal 6 Mei 2008 (Lembaran Daerah Provinsi
DIY Tahun 2008 No. 12).
Istilah Tanah Kas Desa
Jika
kita telusuri secara seksama, dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar hukum pengelolaan tanah (kas) desa sebagaimana penulis telah uraikan di
atas, maka diketemukan istilah “tanah kas desa”. Peraturan perundang-undangan tersebut
menggunakan sebutan “tanah kas desa” sebagai bagian dari kekayaan desa yang
berupa benda tidak begerak, yaitu tanah. Kekayaan desa adalah
barang milik Desa yang berasal dari kekayaan asli Desa, dibeli atau
diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBD)
atau perolehan hak lainnya yang sah (Pasal 1 butir 9 PMDN Nomor 4 Tahun 2007
tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa. Tanah kas desa merupakan bagian dari
“tanah desa” yang penggunaan atau pemanfaatannya digunakan untuk pembiayaan
kelangsungan pelaksanaan pemerintahan desa. Pengertian atau istilah tanah desa
yang meliputi juga tanah kas desa, terdapat Pasal 6 ayat (2) Peraturan daerah
Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 1954 tentang Hak Atas Tanah Di Daerah
Istimewa Yogyakarta yang menyebutkan bahwa Tanah Desa dipergunakan untuk: a.
member nafkah kepada para petugas Kalurahan yang selanjutnya disebut tanah
lungguh. B. memberi pengarem-arem (pension); c. Kas Desa;
d. Kepentingan Umum. Penjelasan Pasal 6 ayat (2) sub 6 dari Perda
tersebut: merupakan nafkah: 1. Bagi Bekel-bekel yang diberhentikan karena
reorganisasi atau sejak jaman kebekelan; 2. Pamong-pamong yang
diberhentikan karena gabungan/pembaruan Kalurahan; 3. Pamong-pamong yang
diberhentikan menurut peraturan yang selekas mungkin akan diadakan.
Sedangkan Tanah Desa yang digunakan untuk kepentingan umum antar lain
berupa pembangunan jalan-jalan desa, penggembalaan hewan, kuburan umum
(pemakaman), danau-danau, pasar desa, lapangan-lapangan, dll.
Pendapat lain dikemukakan oleh Gunawan Wiradi dalam
kaitannya dengan bentuk atau status penguasaan tanah tradisional, yang terdiri
atas: a. tanah yasan, yasa, atau yoso,
yaitu tanah di mana hak seseorang atas tanah itu berasal dari kenyataan bahwa
dia atau leluhurnya yang pertama-tama membuka atau mengerjakan tanah tersebut.
Hak atas tanah ini memperoleh status yuridis dalam UUPA (UU Nomor 5 Tahun 1960)
dikonversi menjadi tanah milik; b. Tanah norowito, gogolan,
pekulen, pelayangan, kesikepan, dan sejenisnya adalah
tanah pertanian milik bersama, yang daripadanya para warga desa dapat
memperoleh bagian untuk digarap, baik secara bergilir maupun secara tetap,
dengan syarat-syarat teretntu. Untuk memperoileh hak garap ini, pada umunya
diperlukan syarat bahwa si calon itu statusnya menjadi tanah milik bagi
penggarapnya yang terakhir. Hal ini dalam Ketentuan UUPA dikonversi menjadi Hak
Pakai untuk tanah yang sifatnya bergiliran, dan yang sifatnya tetap menjadi hak
milik; c. Tanah Titisoro, bondo deso, kas
desa, adalah tanah milik desa yang biasanya
disewakan, diskapkan, dengan cara dilelang kepada siapa yang mau menggarapnya.
Hasilnya dipergunakan sebagai anggaran rutin ataupun pemeliharaan desa, seperti
memperbaiki jalan, jembatan, masjid, dll. Hal yang sama berlaku juga untuk
tanah sanggan, yaitu berupa tanah sawah di Jawa milik/kepunyaan Desa yang
hasilnya untuk memperkuat Kas Desa. Seorang yang menggunakan tanah dengan Hak
Sanggan mempunyai wewenang pemilikan yang sifatnya sementara, misalnya menyewa
dari Desa. Sesuai ketentuan UUPA, hak seseorang tersebut dikonversi menjadi Hak
Pakai; d. Tanah bengkok,
yaitu tanah yang diperuntukan bagi pejabat desa terutama lurah, yang hasilnya
dianggap sebagai gaji selama mereka menduduki jabatan itu.
Pengertian
tanah pada huruf d, yang berupa bengkok tersebut sejalan dengan
pengertian tanah desa sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 butir 10 yang
menyebutkan bahwa Tanah Desa adalah
barang milik desa berupa tanah bengkok, kuburan, dan titisoro. Dari
beberapa pengertian penguasaan tanah secra tradisional sebagaimana dikemukakan
oleh Sdr. Gunawan Wiradi tersebut, maka tanah (milik) desa dapat dikelompokan
men jadi 2 (dua) jenis, Pertama,
yaitu tanah kas desa atau biada disingkat dengan sebuitan TKD; Kedua,
yaitu Tanah Bengkok.
Tanah
Kas Desa (TKD) berdasarkan Instruksi Mendagri No. 12 Tahun 1996 tentang
Pengelolaan dan Pengembangan Tanah Kas Desa, adalah suatu lahan yang dimiliki
oleh Pemerintah Desa dan dikelola untuk kegiatan usaha desa, sehingga menjadi
salah satu sumber pendapatan desa yang bersangkutan. Dengan pengertian itu
dapat disimpulkan bahwa TKD adalah merupakan kekayaan desa dan juga merupakan
sumber pendapatan asli desa di samping sumber-sumber pendapatan lainnya.
Pengertian
tanah kas desa dapat juga diketemukan rumusannya dalam SKB Nomor 157
Tahun 1997/2 Tahun 1997 antara Mendagri dengan Menteri Negara Agraria/Kepala
BPN tentang Pengurusan Hak Dan Penyelesaian Sertipikat Tanah Kas Desa.
Pada Pasal 1 huruf b, disebutkan bahwa Tanah Kas Desa adalah suatu
bidang tanah yang dimiliki oleh Pemerintahan Desa dan dikelola untuk kegiatan
usaha desa sehingga menjadi salah satu sumber pendapatan Desa yang
bersangkutan.
Tanah
Kas Desa (TKD) secara umum diketemukan di Pulau Jawa, namun ada juga di
daerah-daerah tertentu, seperti di Bali. Menurut Darmayuda sesuai
ketentuan UUPA tanah TKD dikenal dengan sebutan tanah druwe desa.
Tanah druwe desa terdiri dari: a. tanah kas desa; b. tanah laba pura, tanah ini
adalah tanah untuk kepentingan Pura dan sesuai SK Mendagri Nomor SK.
555/DJA/1986 tentang Penunjukan Pura sebagai Badan Hukum Keagamaan yang dapat
mempunyai Hak Milik Atas tanah ; c. tanah pekarangan desa (PKD); d. tanah
ayahan desa (AYD). Secara garis besar tanah PKD dan AYD merupakan tanah
milik desa yang telah dikuasai oleh anggota desa dan telah disertipikatkan
menjadi milik pribadi.
Secara
normatif pengertian tanah kas desa dirumuskan dalam Peraturan Gubernur DIY Nomor
11 Tahun 2008 pada Pasal a butir 8, yaitu tanah milik desa berupa
bengkok/lungguh, pengarem-arem, titisara, kuburan, jalan-jalan desa,
penggembalaan hewan, danau-danau, tanah pasar desa, tanah keramat,
lapangan-lapangan dan tanah yang dikuasai oleh Pemerintah Desa.
Komentar
Posting Komentar